Manggarai

Sekarang saya sedang berada di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Ini kali pertama saya kesini, kali pertama pula saya berada di stasiun commuter-line manapun di Jakarta, dan kali pertama pula saya berada di stasiun kereta api di Jakarta selain Stasiun Gambir. Sejujurnya, saya belum pernah menaiki kereta komuter di Jakarta, maupun kereta api dalam kota di Jabodetabek. Terakhir kali saya naik kereta sepertinya sudah lebih dari 10 tahun yang lalu.

Perjalanan singkat ke Stasiun Manggarai ini membuka pandangan saya. Terhadap Jakarta. Terhadap manusia-manusia di dalamnya.

Mereka bilang “Jakarta keras, bung!” , tetapi, dari 13 tahun hidup saya di Jakarta (pinggiran – alias BSD) ini, wah, nampaknya belum bisa saya untuk berkata seperti itu. Terberkatilah saya (terberkatikah?) selama saya di Jakarta saya dimudahkan oleh mobil pribadi yang setia mengantar-jemput saya di sekolah, di rumah, di tempat rekreasi. Dimudahkan oleh adanya mobil yang mengantarkan saya langsung ke bandara Soekarno Hatta terminal 1 saat mudik, tanpa harus melewati jam-jam mengantri di Stasiun Gambir atau mempertaruhkan diri di atas dua roda melewati Pantura. Dimudahkan oleh adanya sekolah dengan fasilitas yang mumpuni, tanpa harus protes atas guru yang tidak kunjung datang. Mungkin untuk saya, Jakarta keras! hanyalah suatu majas.

Semua yang saya dapatkan itu mungkin sesuatu yang amat pantas disyukuri, tapi juga turut membuat saya apriori dan serba kesal dengan kelakuan orang-orang yang serba membuang sampah di jalan, serba meludah dimana-mana, serba kampungan ketika di tempat yang lebih modern dan elit sedikit, serba negatif-negatif dalam standar internasional. Yang tidak selamanya bagus. Mungkin memang mereka salah tidak menaati peraturan dan segala macamnya itu. Tetapi, akses kepada edukasi yang layak juga sulit mereka dapatkan.

Semua yang saya dapatkan itu juga membuat saya merasa senang dan entah mengapa serba pecicilan jika saya mendapat kesempatan melihat Jakarta yang…..Jakarta. Ada atmosfir berbeda ketika saya ke Jakarta kota, yang jarang saya rasakan. Mungkin di dalam kesemrawutannya ada daya tariknya tersendiri.

Kembali ke Manggarai.

Disini saya melihat anak-anak kecil dengan kopiah yang nampak tidak cocok dengan kaos hijau stabilo dan celana jeans menenteng-nenteng kotak kayu bertuliskan “Amal Jariyah”, bapak-bapak yang duduk di emperan dan menyeruput kopi hitam serta menghisap Djarum Super-nya, anak remaja sebaya saya yang sedang mengantri tiket, dan ibu-ibu yang menenteng tas-tas belanjaan. Melihat abang-abang ojek yang begitu antusias setiap ada penumpang keluar dari Stasiun. Wanita paruh-baya yang turun terbatuk-batuk dalam maskernya dari bajaj. Metromini yang sumpek. Satpam-satpam yang meneriaki laki-laki yang nekat naik ke atap. Turis Jepang dan Kaukakus yang kebingungan melihat peta.

Melihat betapa orang-orang disana lari mengejar kereta sambil menenteng-nenteng berkas di jam yang bukan jam sibuk di hari Nyepi, saya menyadari, Jakarta memang keras. Jakarta, dengan populasi 10 juta jiwa di lahan yang hanya 740.28 kilometer persegi (Wikipedia), masyarakat memang harus bekerja keras untuk bertahan hidup. Lahan yang sekecil itu dengan populasi yang sebanyak itu, jelas saja orang-orang hidup di rumah susun sempit, kontrakan-kontrakan padat, di sebelah rel kereta api, dan di tempat-tempat lain.

Saya tersadar bahwa tidak semua orang itu mendapatkan apa yang saya dapatkan. Bukan maksud saya mewajarkan apa yang mereka lakukan, bukan. Saya jadi melihat Jakarta dengan seyogyanya Jakarta.

1 comment

Leave a comment