Archive

Tag Archives: budpar

Beberapa bulan lalu ketika saya (masih) on-fire mengerjakan Tugas Akhir saya mengenai Museum Sri Baduga, dan didorong oleh keinginan saya untuk menegakkan hak saya pada UU no 14 tahun 2008 mengenai Informasi Publik (karena baru magang di Open Government Indonesia), saya ingin meminta data mengenai pengunjung museum di Indonesia. Ketika itu, yang saya tuju adalah Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Terdengarnya enak di kuping, Budpar, Budpar, Budpar. Selidik punya selidik, Budpar udah ngga ada bung.

Memang dasarnya telat, saya jadi baru sadar bahwa Budpar sekarang sudah ganti jadi Parekraf dan “Bud” berada di bawah Kemdikbud.

Padahal, saya sudah kesenengan sendiri karena saat lagi browsing http://budpar.go.id, ada data lengkap mengenai pengunjung Indonesia. Melihat header page-nya yang “Pariwisata dan Ekonomi Kreatif”, saya jadi ngeh dan langsung ganti alamat ke http://kemdiknas.go.id. Yang saya kesali adalah, serius Kementeriannya ganti tapi websitenya ngga?

Sadar nggak sih bahwa addressnya masih Budpar dan Kemdiknas?

Ketika saya browsing situs Kemdiknas, makin kesal. Setengah mati nyari data-data tentang kemuseuman! Kebudayaan saja sedikiiiiiiit sekali disinggung. Adanya tentang pendidikan, pendidikan, pendidikan. Bukannya sentimen dengan pendidikan, tapi kalau namanya Kemdikbud, boleh dong saya mengharapkan porsi yang sama antara Dik dan Bud?

Misalnya pada halaman ini, mengenai rencana strategis kementerian. Sebagai seseorang yang sudah mentok membuat Bab 1 – Latar Belakang, saya berharap bahwa pada halaman ini akan ada rencana pengembangan museum oleh Kementerian tersebut. Ternyata, judul halamannya saja “Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010-2014”. Bete, ngga?

Header picture-nya pun LJK dan siswa sekolah. Mana dong, budaya dan bahasanya? Semakin bete lagi melihat gambar ini:

Struktur Organisasi Kemdikbud

Tulisannya mungkin agak terlalu kecil dan strukturnya sendiri lumayan rumit, namun yang hijau-hijau itu yang berhubungan dengan Kebudayaan. Dengan dibawahnya ada “Kemuseuman”, “Kesenian dan Perfilman”, “Sejarah dan Nilai Budaya”, serta “Diplomasi Budaya”. Nampak sangat banyak dan luas untuk sebuah Ditjen.

Sebagai seseorang yang suka ngedumel sendiri kalau melihat permuseuman Indonesia, reaksi spontan saya adalah “ya jelas aja museumnya ngga jelas kaya gini…”. 

Museum di Indonesia konon katanya di artikel yang saya baca (karena di situs Kemdiknas.go.id ngga ada hihihi) ada ratusan. Bahasa di Indonesia juga katanya ada ribuan bahasa dengan lebih banyak lagi dialek. Ada bahkan bahasa yang penuturnya tinggal hitungan jari, sedangkan bahasa adalah suatu elemen budaya yang intangible sehingga jika penuturnya sudah tidak ada, akan sangat sulit bagi orang awam untuk mempelajarinya. Elemen budaya di Indonesia tentu banyak. Sebagai negara yang memiliki banyak sekali suku dan memiliki sejarah yang lamanya sampai ribuan tahun lalu (Homo floresiensis, anyone?), tentu banyak artefak, baju, dan rumah adat yang Indonesia miliki. Cagar Budaya pun begitu. Mulai dari candi hingga gedung-gedung 1920an, Indonesia memiliki banyak ragam cagar budaya.

Pandangan saya sebagai orang awam, elemen-elemen budaya ini agak terlalu luas dan kurang begitu koheren dengan pendidikan. Pendidikan sendiri sudah begitu banyak, begitu luas, dan begitu rumit. Kurikulum 2013, misalnya. UN yang katanya kacau, misalnya. Ketidakrataan tingkat pendidikan, misalnya. Guru di desa terpencil yang tidak digaji, misalnya.

Jika dilihat pada situs kemdiknas.go.id pada bagian berita, jarang sekali terlihat update mengenai isu budaya, melulu isu pendidikan. Saya melihatnya seperti Kemdikbud sekarang tidak membagi fokus dan perhatian yang cukup terhadap isu budaya.

Kalau boleh saya memilih, saya lebih memilih agar “Bud” kembali ke “Budpar” dan bukannya “Dikbud”. Agaknya “Budpar” lebih memiliki ranah yang cukup dekat dengan beberapa elemen budaya, seperti Cagar Budaya dan Sejarah. Budaya dapat mendukung pariwisata dan begitu juga sebaliknya. Menjauhkan kedua hal tersebut dan malah mendekatkan Budaya ke suatu ranah yang scope-nya sudah sangat luas dengan masalah yang terus-terusan berubah, menurut saya, salah besar.

“Bud” jadi seperti tidak ada batang hidungnya di pemerintahan.

Huf.