Archive

reviews

This post is a part of my 2016 reading commitments.


Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah novel karya Ahmad Tohari yang ditulis tahun 1982, awalnya dalam edisi trilogi. Singkatnya, novel ini menceritakan tentang seorang gadis bernama Srintil yang menjadi ronggeng dari Dukuh Paruk, tentang perjalanannya menjadi seorang ronggeng seutuhnya dan setelah menjadi sangat terkenal, bagaimana keadaan politik di tahun 1960-an mempengaruhinya.

Mungkin judul ini terdengar tidak asing — karena memang, di tahun 2011 karya ini diadaptasi menjadi film dengan judul “Sang Penari”.

Saya pun membeli novel ini kira-kira tidak jauh dari tanggal promosi film tersebut. Jadi, yah… buku ini sudah terletak di rak saya kira-kira lima tahun! Hehe.

Ketika saya mencoba membaca lagi novel ini, saya jadi ingat kenapa lima tahun lalu itu saya tidak jadi membacanya — bahasanya lumayan berat. Jujur, saya tidak terlalu banyak membaca sastra Indonesia, dan sudah lama sekali sejak saya membaca novel berbahasa Indonesia.

Bahasa yang Ahmad Tohari pakai bukanlah bahasa yang sehari-hari kita dengar, ditambah lagi terdapat kata-kata serapan dari bahasa Jawa dan bahasa Sunda sehingga pembaca yang bukan merupakan penutur bahasa-bahasa tersebut mungkin akan merasa kesulitan membacanya. Saya pun juga harus mencari di google beberapa hal, misalnya saja tempe bongkrek. Latarnya yang berada di tahun 1950-1960an di kampung terpencil membuat penggambaran sedikit sulit — tapi, disinilah menurut saya menariknya Ronggeng Dukuh Paruk. Walaupun menantang pada awalnya, namun pendeskripsian Ahmad Tohari sangatlah detil, sehingga latar tempat dan waktu terasa nyata.

Bahasa dan penggambaran yang ia pakai pun sangat… vulgar? Dalam beberapa kalimat dan adegan saya bahkan kaget! Karena sungguh, saya tidak mengantisipasi hal-hal tersebut. Bahasa dan adegan tersebut tidak halus, namun bukannya kasar — seperti apa adanya, telanjang. Di satu sisi terkadang sangat dapat diserasikan dengan penggambaran Dukuh Paruk sendiri: sangat simplistis, jujur, mesum, dan udik.

Hal lainnya yang saya sangat suka dari novel ini ialah penggambaran karakter. Masing-masing karakter begitu kuat penggambaran sifatnya sehingga sebagai pembaca, kita dapat berempati dan berpikir sesuai dengan jalan pikiran mereka — dan sungguh, menurut saya, sebuah novel fiksi dapat dibilang sangat baik ketika pembaca dapat berempati dengan karakter cerita. Dimulai dari Srintil kecil: mulai dari kegenitan masa kecil hingga jati dirinya yang sensual namun tetap elegan, hingga matang dan keibuan. Rasus: segala kebingungan dan perdebatan yang ia hadapi pun dapat kita ikuti.

Kejadian-kejadian di tahun 1960-an yang menjadi topik utama di karya ini baru dijelajahi setelah kira-kira setengah buku. Setengah awalnya lebih fokus kepada pengenalan latar belakang dan karakter, dan bagaimana Srintil menjadi seorang ronggeng seutuhnya.

Disinilah menurut saya salah satu aspek novel ini yang membuat saya kurang sreg — terkadang alurnya menjadi seperti bertele-tele dan membosankan. Walau pendeskripsian yang detil menjadi aspek yang menarik, jika terus dipergunakan sepanjang cerita, terasa seperti berlebihan dan menjadi membosankan. Dari segi alur pun terkadang saya merasa banyak sub-plot yang dirasa tidak terlalu memberikan arti atau nilai tambah terhadap keseluruhan cerita.

Namun, secara keseluruhan, alur cerita dianyam rapi oleh Ahmad Tohari, membuat pembaca tetap penasaran membacanya dan ingin tahu apa yang terjadi dengan Srintil berikutnya — dan bukan karena hanya romansa klise seperti novel cinta remaja. Ditambah lagi, pembaca dapat melihat dan mengikuti betul perkembangan sifat dari diri Srintil, Rasus, dan masyarakat Dukuh Paruk.

Dalam kasus saya, saya sampai merasa harus mencari teman berdiskusi atau bercerita ketika saya selesai membaca novel ini. Dan tidak banyak novel yang dapat membuat saya begitu bersemangatnya mendiskusikannya dengan orang lain ketika saya selesai membaca sebuah karya fiksi. Dari sinilah, menurut saya pribadi, Ronggeng Dukuh Paruk menunjukkan kekuatannya: ia adalah sebuah karya untuk dipikirkan lebih lanjut, untuk bahan diskusi, untuk bahan refleksi.