Tentang Kampus yang Terjebak Tradisi Lama.

Ini murni pandangan pribadi saya. Jika tidak berkenan, dapat mengirimkan pesan personal atau komen di post ini.

Selama 2 tahun saya kuliah di kampus “gajah” saya ini, perbendaharaan kata saya bertambah pesat. Baik perbendaharaan bahasa Indonesia maupun Inggris. Salah satu kata yang baru saya dengar di kampus ini ialah kaderisasi.

Kaderisasi, yang diartikan di KBBI sebagai pengaderan (yang diartikan sebagai cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader), atau singkatnya penurunan nilai, nampaknya menjadi salah satu kata favorit beberapa golongan mahasiswa disini. Kaderisasi ini, itu, tingkat 1, 2, Rancangan Umum Kaderisasi, dan sebagainya. Kaderisasi dianggap proses pelayakan atau persiapan bagi seorang mahasiswa untuk menjadi kader suatu organisasi. Kaderisasi ini bukan proses sekali jadi, namun proses yang berlanjut hingga mahasiswa tersebut berstatus alumni. Adanya tingkatan dalam rancangan umum yang dibuat oleh organisasi mahasiswa sentral di kampus saya menjelaskan apa saja yang diharapkan dicapai dalam proses berlanjut ini.

Jujur, dulu saya adalah salah satu dari mahasiswa-mahasiswa itu, yang gemar dengan kaderisasi-kaderisasi-an. Sampai sekarang saya juga menganggap bahwa kaderisasi itu adalah hal yang penting. Perlu dong, seseorang dipersiapkan terlebih dahulu sebelum mengemban sebuah tugas atau diberi tanggungjawab lebih?

Sayangnya, jika mendengar kata kaderisasi, banyak orang langsung mengidentifikasikannya dengan perploncoan, bully-bully massal, tugas-tugas aneh, bahkan kekerasan fisik. Kaderisasi pun identik dan sering disamakan dengan kata ospek.

Bully; verb (used with object)
6. to act the bully toward; intimidate; domineer.

Kemarin saya membuka dokumen briefing untuk interaksi dan opening dari kegiatan yang dianggap “kaderisasi terbesar di kampus”, dengan nama OSKM. OSKM ini adalah serangkaian kegiatan inisiasi atau penyambutan mahasiswa baru yang berlangsung selama kurang lebih 5 hari. Acara yang terdapat dalam rangkaian ini seputar sidang terbuka penyambutan mahasiswa baru, resmi dihadiri oleh rektor dan bahkan menteri RI, mentoring dengan kakak kelas, orasi-orasi yang kurang lebih membahas tentang kemahasiswaan dan nasionalisme, dan tentu, yang paling ditunggu-tunggu – interaksi dengan senior. Saat membaca dokumen briefing tersebut, saya kecewa. Kecewa, bercampur sedih, agak marah, dan prihatin. Memang, apa yang saya lihat di dokumen tersebut?

Yang saya garisbawahi secara spesifik adalah tulisan di bawah ini:

  • Meneriakkan pertanyaan dan pernyataan yang bertema “urgensi untuk bersatu”, bersifat satu arah, seperti “Satu apaan?” “Sudah saling kenal belum 1 angkatan?” “Bersatu de!!” “Cape ya de puasa? Yang lain bantuin dia dong!!” dsb.

Sore tadi, saat saya melihat timeline Twitter, saya menemukan foto yang menunjukkan senior-senior berbaris dengan muka menekan dan dengan gestur yang tidak ramah, mata terfokus pada maba yang jalan dalam barisan. Pada foto lain terlihat mahasiswa senior yang menarik seorang maba dari barisan untuk “berinteraksi”. Muka maba tegang, tentu. Tapi yang jadi fokus saya ialah muka senior yang terkesan menekan.

Saya sedih.

Alasan yang membuat saya tidak setuju dengan tulisan tersebut adalah:

  1. Kurang tepat guna. Bayangkan anda seorang mahasiswa baru. Pada bulan puasa, yang biasanya dihabiskan bersama keluarga di rumah, anda harus tinggal di Bandung untuk mengikuti matrikulasi selama sebulan – atau dua minggu, untuk mahasiswa yang lolos dari SNMPTN tertulis, dan pada waktu “Penyambutan Mahasiswa Baru” atau inisiasi, bukannya mendapatkan sambutan dari senior, anda malah diteriaki. Kalau itu tujuannya adalah untuk mendapatkan respek dari junior, wah, menurut saya, salah bung. Bisa-bisa, bukannya respek, malah dianggap gak beradab.
  2. Puasa. Secara spesifik, saya menegaskan ini untuk yang beragama Islam. Bulan puasa kan semestinya kita menjaga hawa nafsu kita kan, termasuk amarah. Berada dalam lingkungan yang “panas” dan penuh teriakan, kontan membawa kita menjadi tereksitasi dan ikut-ikutan, bisa-bisa emosi sendiri. Puasa-puasa ada baiknya, toh, menjaga emosi? Lebih baik menyebarkan energi positif. Hehe.
  3. Discouraging untuk maba. Mahasiswa baru masuk, masih baru adaptasi dari lingkungan SMA dan mungkin kota yang berbeda. Jika mereka saja tidak disambut dengan baik-baik dari senior yang semestinya mengayomi dan membantu mereka, pasti jadi ciut dong? Hal-hal kaya gini juga bisa bikin (beberapa) maba jadi males untuk ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus. Jadi, tujuan yang awalnya bikin imej kuat-kuat dan jumawa jadi gagal deh. Tujuan integrasi atau semangat berkemahasiswaan pun jadi luntur.
  4. Dilakukan atas dasar yang belum tentu semua orang ngerti. Jujur, saya pun juga sebenarnya kurang ngerti. Tapi saya memilih untuk tidak ikut-ikutan. Tapi tidak menutup kemungkinan banyak orang diluar sana yang ikut apa kata ketua atau kadiv himpunan dan kontan marah-marah, kadang diluar batas wajar.
  5. Refleksi tahun lalu. Tahun lalu, ketika saya menjadi panitia lapangan acara ini (acara ini tahunan), ada kejadian dimana mahasiswa baru pada tengah malam, memilih untuk melewati Jl Taman Sari yang notabene tidak aman dibanding melewati dalam kampus. Alasannya? Takut. Takut pada senior yang pada siang harinya melakukan hal yang sama seperti yang tertera pada dokumen briefing tersebut. Hasilnya? Mahasiswa tersebut dijambret orang, sependengaran saya sampai diminta baju seragamnya.

Saat membaca tulisan tersebut, saya berpikir, masih ya? Bukannya tidak pernah saya dulu meneriakkan kalimat-kalimat tersebut, entah pada kaderisasi himpunan atau kampus. Tapi setelah melewati proses tersebut dan melewati berbagai acara, hal tersebut saya rasa kurang pantas. Mendengar pendapat dari junior saya yang saya perlakukan sama dengan prosedur di atas, mereka lebih merasa mendapatkan manfaat dan terinspirasi dari bincang-bincang santai dibandingkan orasi atau diteriaki dengan materi yang sama. Melalui bincang-bincang tersebut, saya menjadi lebih kenal dekat dengan mereka, begitupun mereka kepada saya. Jadi, selain “nilai” organisasi saya terturunkan, saya pun mendapat koneksi baru.

Lalu, apa saja alternatif yang saya tawarkan untuk mengubah keadaan ini?

  1. Bincang-bincang santai seperti yang tertera di paragraf sebelumnya.
  2. Tugas yang lebih tangible. Dengan memberikan tugas yang lebih “nyata” atau tangible, mahasiswa baru lebih dapat berinteraksi secara mendalam dengan satu yang lainnya. Untuk membuat ide ini feasible, waktu yang dibutuhkan memang lama, sehingga menurut saya rangkaian kegiatan resmi mungkin bisa selesai pada 5 hari atau kurang, namun untuk tujuan “mempersatukan” lebih baik dengan membuat acara bersama. Jadi, pertanyaan atau seruan retoris seperti tadi tidak perlu digunakan. Contohnya adalah makrab angkatan dari seluruh fakultas seperti yang diadakan tiap tahunnya, namun dengan konsep yang lebih matang.
  3. Sharing session. Saya telah beberapa kali menyebut nama teman saya, Hendra Kwik, pada blog saya ini. Saya terinspirasi dan tergerak olehnya. Alangkah lebih baiknya jika orang lain mendapat kesempatan ini bukan? Mungkin acara inisiasi ini dapat mengadakan sharing session dari alumni atau senior yang dibuat menarik. Mungkin, untuk membuat tidak terlalu membosankan, dibandingkan dikumpulkan jadi satu di Sabuga, dapat dipisah jadi per fakultas.
  4. Festivity! Selama dua tahun saya kuliah disini, saya melihat “warna-warni kampus Ganesha” pada dua acara. Satu adalah OSKM ini dan yang kedua – yang menurut saya pribadi jauh lebih membahagiakan, menyenangkan, dan membanggakan, kontras dengan OSKM yang cenderung lebih menegangkan, walau juga dapat menimbulkan rasa bangga – wisuda. Wisuda, dimana tiap himpunan akan berlomba-lomba untuk membuat arak-arakan yang paling meriah untuk mengantar lulusannya keluar dari kampus ini. Jahim sana-sini, senyum sana-sini. Kadang, walau saya gak kenal pun, saya bisa terharubiru, trenyuh melihat parade ini. Ide gila saja, bagaimana kalau ini dipakai untuk menyambut anak baru itu? Tidak dengan spesifik tema, tapi lebih ke arah atmosfirnya yang bahagia dan megah.

Ide saya mungkin banyak cacat sana-sini, mungkin kurang sesuai dengan materi atau analisa kondisi, tapi saya yakin, atmosfir yang lebih membahagiakan dan ramah dapat membawa maba ini, paling tidak, lebih merasa disambut di kampus barunya.

Kalau (banyak yang) tahu tradisi lama ini kurang benar, kenapa harus dilanjutkan? 😉

 

Oh ya, selamat datang putra-putri dari berbagai penjuru bangsa! (Kalau ada embel-embel dan merasa terbaik terus, nanti jadi malas untuk berkembang lho.)

48 comments
  1. pawl said:

    wah tulisannya menarik…
    saya jg sering sih dengar pendapat kaya gitu… dan ga bisa disalahkan/dibenarkan, relatif, tergantung latar belakang, lingkungan, & pengalaman hidup si orang yg ‘dibina’ & ‘membina’.

    Kalau saya boleh kasi pendapat,
    ke-2 metode: diteriak2in & berdiskusi , itu perlu dilakukan.

    – Diskusi: itu baik agar materi yg lebih dipahami oleh anak baru & dan kita dpt feedback yg lengkap & akurat. alasannya lainnya udah mas jelaskan di atas 🙂

    – Teriak: itu baik agar pembentukan mental yg kuat, semacam terapi kejut, buka mata-buka telinga-buka pikiran… Iya sih banyak ‘frasa’ yg digunakan para mahasiswa masih bikin kesan ‘teriak-teriak’ itu negatif. Nah, isi teriakan itu yg perlu dibenahi, bukan berarti tidak boleh teriak. Di ITB ini, manusia dr seluruh Indonesia masuk… ada yg efektif dgn metode diskusi, ada yg dgn metode keras. Jadi yg kita harus pikirkan bersama itu adalah gimana cari ‘titik tengah’nya.

    1. Kalo alasannya bulan puasa harus di rmh bersama org tua, berarti tiap OSKM (atau apalah namanya nanti) yg bentrok dgn bulan puasa, kita skip aja ya? Setuju?
    2. hampir sama dgn di nmor (1)
    3. Karena mereka dr SMA yg berbeda-beda & dr sudut indonesia yg beda pula, makanya kita perlu cari titik tengah yg efektif. Ada yg harus dipaksa/ditodong baru mau kerja, ada yg harus dibujuk, ada yg harus dijanjikan sesuatu, ada yg harus tau bagaimana/kapan berakhirnya, ada jg yg telan bulet2 perintah senior, ada yg ikut2 teman. Seperti yg biasa saya bilang ke tmn2 saya, “kalian mau suruh mereka lari 6 putaran? Ya kalian semua panitia harus ikut lari bersama mereka…!”
    Jadi maksud saya, metode (agak) keras itu (selama tidak ada kontak fisik) boleh. ASAL, metode itu dibuat sedemikian rupa, untuk menarik kepercayaan mahasiswa muda, memberi contoh, memberi pengalaman, dan menunjukkan itu masih dalam kemampuan mereka. Yg mengembangkan potensi seseorang itu bukan semata2 kreativitas+pintar omong, tapi jg manajemen emosi, tahan tekanan, berpikir/respon cepat, dll. Apa yg menjaga/mengarahkan mereka agar mendapat poin2 itu?? Itulah gunanya taplok… taplok memandu mereka bagaimana menghadapinya, apa yg harus dilakukan, apa yg tidak boleh dilakukan… dst… dst……
    4. Itu jelas saya jg tidak setuju kalo ada yg ikut2an ga jelas…
    Oh iya, teriak itu beda dgn marah ya… saya bisa memanggil anda pada jarak 20m hanya dgn teriak. Kalau saya marah, saya bisa menggila.. haha
    5. Ya ituuulllaaahhhh tugas taplloookkkk… Arahkan mana jalur aman, mana jalur bahaya. Zaman saya INKM dulu, taplok saya benar2 care, benar2 memberi arahan sampai saya benar2 di kamar saya. Jujur kalo saya disitu yg saya salahkan tu taplok. Dimana kepercayaan mahasiswa baru terhadap panitia? (dalam hal ini: taplok).

    Oh iya… mgkn kalo sempat, boleh nanti liat2 bagaimana proses ospek kampus2 di jln DU, dan bisa dibandingkan dgn kampus kita, secara metode maupun konten.

    Saya pribadi setuju dgn adanya proses kaderisasi, dgn catatan, dilaksanakan oleh orang2 berkompeten.
    Yang saya tidak setuju itu adalah ketika kaderisasi menjadi hal ‘wajib’.
    Orang-orang boleh memilih untuk dibina atau tidak. Kalau dia setuju utk dibina, dia harus mendapat metode yg pas, tidak lebih – tidak kurang. Kalau memilih utk tidak dibina, dia harus bisa menjamin dirinya mendapat nilai-nilai yg diharapkan, dari luar proses kaderisasi ini, agar bisa menjadi mahasiswa yg selayaknya.

    Hihihi.. sori byk omong, ga bisa tidur niiieeecchhh…

    • C said:

      hehe malah seneng ada yang komentarrr, tapi saya bukan mas…*gapenting*

      sebenernya emphasisnya bukan di puasaan di rumah bersama ortu, itu cuma pelengkap kondisi aja, tapi lebih ke “sambutan” yang mereka dapetin, terlebih lagi di kondisi yang tadi disebutin. saya sih mikirnya sederhananya aja itu, udah lumayan gondok pas lagi nahan laper, tapi malah diteriakin atau bahkan dimarahin sama senior (trims koreksi atas perbedaan teriak sama marahnya, hehe)

      saya juga setuju sama kewajiban kaderisasi menurut pandangan mas pawl, tapi pertanyaan berikutnya sih menurut saya bagaimana sikap kita ketika yang memilih utk tidak dibina itu ga mendapatkan nilai2nya..hehe. sempat jadi obrolan di himpunan saya juga pas itu.

      all in all, semoga dari obrolan atau diskusi kecil ini paling tidak bisa membuka pikiran orang dan melahirkan ide-ide baru untuk kaderisasi yang lebih lengkap dan tepat hehe.

      • pawl said:

        waaahahaha.. sori mbak, ga sempat cari2 siapa penulisnya..

        kalo yg memilih untuk tidak dibina itu ga mendapatkan nilai2nya, itu keluarannya ada 2 masalah:
        – si senior kurang pinter cari cara utk menyadarkan si adik perlunya ‘kegiatan’ itu
        – si adik memang tidak berkeinginan utk membangun dirinya sendiri, di dalam institusi kita maupun di luar itu… ya omong kasarnya sih ‘seleksi alam’…

        btw ini di bawah ni si Aya? yaelaahhh.. haha.

        kirain gw doang yg mikir gitu, trnyata komen di bawah lebih rame…

  2. Setuju cah… It’s the same sickening cycle.. Tp sepertinya secara umum, orang yang melakukan kaderisasi yang ga mendidik baru menyadari kalau tingkah lakunya nonsense dikala dia udah ngelewatin itu semua dan menjadi sudut pandang pengamat.. Baru kayanya bisa mikir, “ini kalo diliat2 konyol yah”.

    Btw, mau share ini tapi bakal ofensif banget ke pacar.. He was the head of GEA’s kaderisasi 2011-2012 hahaha

    • C said:

      haha I wrote and publicized this post quite well aware of the consequences….including nyari musuh. oh well.

      anw, iya banget yang bagian harus ngelewatin itu. dulu juga gue merasa “oke” dengan jadi senior yang terkesan tegas. tapi dipikir-pikir, what on earth was I doing? haha. bukannya diliat oke malah gue merasa carmuk dan bodoh gitu hehe

  3. Setuju banget, seinget gw dulu yang bikin gw ter-impress sama ide akan “(ke)mahasiswa(an) itb” itu bukan di sisi di plonco-nya deh. I’ve been there, done that. Pernah di-plonco, pernah me-mlonco, dan istilahnya udah tamat banget perploncoan dari jaman smp (anak OSIS ceritanya). Dan jujur bahkan pas gw INKM dulu (2010) gw ngerasanya dimarah2in itu so 20’s and late gitu. Kesimpulannya udah gak jaman (banget) buat mengkondisikan mental atau menurunkan nilai dengan cara seperti itu, menurut gw.

    Lebih keren tuh ya kalo mereka (yang berwenang) nunjukin nilai-nilai kemahasiswaan di ITB misalnya seperti berhimpun, nilai-nilai keprofesian…atau apa kek yang gak marah marah..gw dengernya aja sebagai mahasiswa yg udah tingkat 2 malu…

  4. swastaplok said:

    gw cuma bisa ketawa pas baca ini 🙂 dangkal banget mikirnya, hihihi
    lucu banget deh kalian udah mau tngkat 3 tapi masi imut2 dan polos gitu 🙂

    • C said:

      hehe yaa once in a while kayanya imut2 dan polos ga ada salahnya juga kaka 🙂

      • @swastaplok: terus kalo dangkal, penjelasan anda apa? Coba dijelasin biar balance 😀

    • lol said:

      gw cuma bisa ketawa pas baca ini 🙂 dangkal banget mikirnya, hihihi
      lucu banget deh kamu udah swasta tapi masi ga pinter2 gitu 🙂

    • A said:

      Saya tidak melihat kedangkalan dalam tulisan ini. Pikiran yang tidak banyak dipikirkan oleh orang bukan berarti pemikiran yang dangkal, penulis sudah memaparkan detail-detail dengan alasan yang dapat diterima akal. Setidaknya akal-akal yang belum teracuni idealisme yang tidak ideal 🙂

    • arfian said:

      si @swastaplok ini cuma bisa ngomong doang alias omdo. mana argumennya kak? keliatan dong disini siapa yang dangkal pikirannya 🙂

    • C said:

      Indeed I have! Hehe. Love your post, too. Belom sempet komen, tho. Hehe.
      Mungkin yang harus dibenahi konten yang diteriaki oleh senior-seniornya, ya. Mungkin, lebih jauhnya (karena saya sudah banyak mendengar opini juga yang mengatakan cara ini ga efektif) bisa dilihat ulang apa sebenarnya tujuan dari cara itu..

  5. Kevin said:

    Mw nanya nih abang2 dan kakak2 sekalian, banyak orang bicara klo ITB itu miniatur Indonesia, 20 tahun lagi, Indonesia akan seperti ITB yang sekarang. jadi Indonesia sekarang itu seperti ITB jaman 1980an. padhal kl kita berkaca di himp masing2, gimana sih ITB 1980an?? ktana bagus, pionir dalam pergerakan mahasiswa, tapi Indoensia sekarang bnyak kasus korupsinya, banyak cacatnya, walaupun banyak juga hal bagusnya. masalahnya adalah bagaimana Indonesia 20 tahun yang akan datang?? apakah akan seperti ITB yang sekarang???.( perenungan diri sndiri sh )

    Jadi solusinya gimana nih? sebelum rubah Indonesia, rubah kampus dulu, sebelum rubah kampus, rubah diri sendiri.. tp kampus yang ideal itu kek gimana sih? mw contoh world class university macem MIT, Harvard, Stanford, Oxford?? itu kan univ kelass wahid di dunia.. tp seinget saya sih gak ada kemahasiswaannya, mank ada gitu kaderisasi macem di ITB? Ada agitasi ya? ( yg ini gak tw sih, kl ada yg tw mohon dicerahkan ). jd klo ITB menjadi WORLD CLASS UNIVERSITY, gimana kabar kemahasiswaan kita? apakah lebih baik dihilangkan saja jika tidak mampu merubah Indonesia ke arah yg lebih baik? apakah ternyata kl mahasiswa jadi STUDY ORIENTED, LAB ORIENTED lebih bisa membantu Indonesia?? Ada yg mw jawab??

    • ramda said:

      a very quick reply dari observasi gue:

      mohon diinget juga kalau jurang sosio-ekonomi indonesia itu besar banget. justifikasi yang umumnya dipakai adalah kita “maha”siswa, not merely students. Rolenya lebih karena memang diberi keuntungan yang lebih juga sehingga bisa masuk ITB. Kalau bukan kita yang berkoar2, siapa lagi? Begitu value yang beredar, terutama di ITB.

      Pertanyaan yang menarik: ” jd klo ITB menjadi WCU, gimana kabar kemahasiswaan kita?”.

      Tentunya penggabungan arahan rektorat (WCU) dan nurani mahasiswa pembela rakyat itu. Mungkin lebih ke pembentukan kelompok diskusi. Kelompok entrepreneurship. Lebih banyak kerjasama ke universitas social science karena kita kurang punya ilmu2 itu berhubung orientasi teknik. Penanaman critical thinking and essays instead of multiple choice exams. Masih bisa banget kemahasiswaan yang jadi ciri khas kita itu ada, dan tentunya dengan tetap menaikkan mutu akademis. Not just kemahasiswaan-oriented, not just study-oriented, but combining both.

      Susah kan? makanya pada lebih suka teriak2 dan ikut arahan tahun2 sebelumnya 😀

    • C said:

      Mas Kevin, saya coba jawab ya..

      Kalau utk yg miniatur Indonesia 20 th lg itu kan bisa terbentuk statement ky gitu karena petinggi-petinggi negara (baik dr sisi bisnis atau pemerintah, atau bahkan pendidikan) banyak datang dari ITB. Saya sendiri sih merasa pasti banyak faktor eksternal lain kalau untuk keadaan nantinya, keadaan ekonomi dunia atau politik dunia misalnya. Jadi kalau “plek” dan pasti, saya pribadi sih ga melihat 20 taun lagi bakal sm ky ITB taun 2012.

      Sekarang ttg yg WCU.
      Kalau dibilang kampus “ideal” itu sebenernya tergantung keadaan lingkungan sekitarnya sih. Bisa saja yang ideal di negara maju beda dgn yg ideal di negara berkembang. Tergantung kondisinya menurut saya.

      Kalau negara maju sekarang, yg ditekankan dalam universitasnya adalah riset dan hasil penelitiannya termasuk paper. Kalau di negara spt Indonesia masih bisa dilihat risetnya ga seaktif di negara tsb.

      Agak menjawab sedikit ttg yang “kemahasiswaan” di Harvard dsb, lebih ke apa yang saya tahu dan saya observe di univ-univ semacam Harvard:

      Menambahkan di luar apa yang mas Ramda telah paparkan mengenai adanya pemuasan keinginan pemerintah, disana kegiatan mahasiswa juga beragam, seperti klub-klub. Klub disana banyak bgt, ga cuma yg berbasis aktivitas semacam olahraga atau debat, tapi juga ada klub kajian-kajian juga. Untuk kaderisasinya, setau saya mereka ada proses inisiasi juga, mempersiapkan calon anggota utk jd anggota yang pantas, tapi biasanya melalui seleksi atau persiapan yg berhubungan dgn kegiatannya lgsg, seperti kaderisasi unit di ITB kali ya kalo dibandingin.

      Kalo kaderisasi yang semacam os-os-an setau saya memang ga ada. Mereka lebih fokus ke keprofesian mereka, sama riset atau paper-writing kaya yg saya tulis di atas. Tapi mereka juga tetap menjadi penghubung rakyat-univ-pemerintah, kok. Pas itu saya pernah liat tulisan pergerakan semacam “Occupy” (yg menentang kapitalisme) di salah satu dormitory dan ruang kelas mereka.

      Kalau utk pertanyaan study oriented itu, menurut saya mungkin lebih ke arah aktif riset-nya, sih. Karena sudah banyak artikel dan dosen saya yg blg Indonesia butuh riset lebih banyak. Jadi ga mesti sepenuhnya ngelupain apa yg ada skrg (seperti kemahasiswaan, misalnya) dan jd cm orientasi belajar aja, tapi menambahkan. Kalau bisa kemahasiswaan jalan sebanding naiknya tingkat penelitian ya bagus. Hehe.

      Kalau mas Kevin ingin tau lebih soal Indonesia dan WCU, saya sarankan membaca artikel di link ini, tulisan C W Watson, salah seorang dosen di SBM: http://m.thejakartapost.com/news/2012/03/03/does-indonesia-need-world-class-universities.html

      Semoga menjawab 🙂

  6. Ryan F said:

    oh, jadi kalo marah-marah gaboleh, terus mereka mahasiswa baru terjebak dalam kelemahan hati dan mental (karena mereka gatau dikerasin itu rasanya gimana, taunya dilembekin terus, disuapin) pada jadi bencong semua dong, kasian..

    Situ mau punya anak yang ketika disuruh beli gorengan aja nangis soalnya takut sama tukangnya soalnya mentalnya lemah?
    Situ mau punya anak manja, baru jam 9 malam aja karena takut sama preman eh minta dijemput?
    Situ mau punya anak yang 4 tahun kuliah waktu kosongnya cuma abis buat DoTA?
    Situ mau punya anak yang pas ulangtahun ke-18 nya ga ada yg ngucapin selamat ulang tahun, soalnya anak situ gapunya temen karena anak situ gapunya keberanian dan MOMENTUM untuk mengenal satu sama lain.
    Situ mau nanti ketika tua dan lagi dongeng ke anak cucu situ gapunya memori yang kuat akan kegiatan kampus, memori yang situ ingat cuma soal belajar, proyek, syalala?
    Situ mau hidup dalam kesedihan, sendiri pula.

    Saya mah mending dimarahin, diteriakkin, ditampar sekalipun, tapi saya dapat semua yg bisa saya dapat (mau nulis perpoin juga ah):
    1. Teman, ketika lo ditampar sama siapa kek pasti orang-orang disekitar langsung take action dan (sok-sok) peduli gitu, eh dapet temen deh.
    2. Pelajaran, ga akan lo ditampar kalo lo ga ngelakuin kesalahan, sumpah, mahasiswa ga setolol itu kok, ga akan lo hamil kalo ga begituan dulu. Nah dari tamparan ini gua bisa introspeksi diri.
    3. Memori, “Dulu pas gua diospek, gua ditampar bolak-balik 2300 kali”, wah seru ya kalo 30 tahun lagi kalian cerita kayak gitu ke anak cucu.
    4. Momentum, “wah itu tadi aku RT @sicantikjelita: Ih kasian tadi ada yang ditampar, padahal ganteng” dari yang awalnya sedih karena ditampar bisa berakhir dengan perjodohan loh
    5. Keberanian, nah ini analoginya kayak kalo misalkan lo takut banget sama setan soalnya lo belom pernah ngeliat setan, yang lo tau setan itu serem, nah ternyata setelah lo ngeliat setan itu setan ga seserem yg lo bayangkan, yaudah kalo gitu gausah takut setan deh. Sama kayak ditampar.

    terus mau komentar juga, maaf ya komennya panjang:
    1. Tidak tepat guna, karena situ tidak tahu guna yang diharapkan oleh panitia, situ gapernah dateng forum opclose ya? kalo iya, situ harusnya tau dong panitia mengarahkan opening ini gunanya apa.
    2. Puasa, bukan alasan jadi lemah, apalagi mental.
    3. Discouraging, duh lemah, situ takut amakan sushi soalnya ikannya mentah, begitu kira-kira. Terus ada si Jaya Kirana yang akan selalu meluruskan semua pikiran melenceng dari mahasiswa baru, jadi tenang aja coy.
    4. Gatau esensi, nah kalo ini kembali ke poin 1. Terus situ sebagai massa ga menghargai panitia berarti, kan panitia udah baik banget tuh mengadakan yg namanya briefing, hal ini supaya ga ada distorsi esensi.
    5. refleksi, mungkin ini yg harusnya ditekankan, tapi dengan poin 1 dan 3 harusnya sudah terjawab.

    Oke, ini sudut pandang gua pribadi, tapi gue ga egois dan gue juga mencoba menempatkan diri di dua pihak. 5x gua dikader, 4x gua mengkader, ya masih dangkal pikiran gua. Jadi maaf ya kalo ga rasional tulisannya, hahaha. Selamat berpuasa!

    • aisling said:

      oke, lestarikan mental bangsa jajahan, yg cuma dengan dimarahi dan dibentak baru bakal gerak.

    • Bagus said:

      mari kita lihat lagi komentar saudara Ryan F
      “oh, jadi kalo marah-marah gaboleh, terus mereka mahasiswa baru terjebak dalam kelemahan hati dan mental (karena mereka gatau dikerasin itu rasanya gimana, taunya dilembekin terus, disuapin) pada jadi bencong semua dong, kasian..

      Situ mau punya anak yang ketika disuruh beli gorengan aja nangis soalnya takut sama tukangnya soalnya mentalnya lemah?
      Situ mau punya anak manja, baru jam 9 malam aja karena takut sama preman eh minta dijemput?
      Situ mau punya anak yang 4 tahun kuliah waktu kosongnya cuma abis buat DoTA?
      Situ mau punya anak yang pas ulangtahun ke-18 nya ga ada yg ngucapin selamat ulang tahun, soalnya anak situ gapunya temen karena anak situ gapunya keberanian dan MOMENTUM untuk mengenal satu sama lain.
      Situ mau nanti ketika tua dan lagi dongeng ke anak cucu situ gapunya memori yang kuat akan kegiatan kampus, memori yang situ ingat cuma soal belajar, proyek, syalala?
      Situ mau hidup dalam kesedihan, sendiri pula.”

      komentar saya:
      itu dampak kalau mahasiswa tidak mengalami OSKM ??
      hahhahahahaha.

      saya setuju dengan judul artikel ini, banyak hal2 dalam OSKM yang dipaksakan hanya untuk meneruskan tradisi, meskipun negatif.
      saya tahu panitia ingin mempersiapkan maba dengan baik, sehingga dilakukanlah metode2 pembelajaran.
      tapi saya juga tahu ada tujuan tak tertulis untuk melestarikan tradisi terdahulu, sehingga digunakanlah metode2 peninggalan leluhur, yang masih dipaksakan meskipun sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang.
      maka ketika nanti suatu waktu panitia sudah tidak berorientasi pada tradisi lagi, maka niscaya OSKM berikutnya akan berbeda dari sebelumnya, menjadi semakin baik, makin sesuai dengan tujuannya. semoga ya.

    • ramda said:

      Wah kalau seneng dapet teman, pelajaran, memori, momentum, dan keberanian via tampar-tamparan mah itu namanya masokis bung :))))

      Bagaimanapun, gue bisa mengerti kalau lo mungkin senang saat meraih sesuatu melalui jalan yang berat dengan penuh tamparan. I can understand, mungkin bagi lo hidup itu menyedihkan saat lo dikatain “LEMAH!” oleh senior atau superior lo. Segitu menyedihkannya, sampai lo menerima definisi lemah dari mereka dan berjuang mati-matian agar mendapat pengakuan kalau tidak lemah dari mereka.

      Lo menganggap kalau mahasiswa baru gatau rasanya dikerasin gimana? Ngatain disuapin? Ngatain bencong?

      4 kali mengkader, 5 kali dikader, dan hasilnya adalah statement seperti itu? Karena lo merasa kuat, lo jadi merasa dibolehkan menyamaratakan yang muda dan melabel mereka seperti itu?

      Malu bung.

      Bolehlah cerita ke anak cucu nanti kalau gitu. “Papa dulu ditampar 2300 kali karena 5 kali dikader nggak ngerti2.”

      • Heri said:

        sumpah ngakak ane baca komentar abang yang satu ini 😀

    • arfian said:

      We may not realize it, but sometimes it is easier to add the “dis” than the “en” to the “couragement” we offer.

      anggap saja para maba itu adalah adik-adik kita. bagaimana seorang kakak membimbing adiknya dengan baik? dengan dimarah-marahi? dengan membuat hatinya ciut?

      menurut saya ada hal lain yang bisa mendorong mahasiswa dengan lebih produktif. Dengan memberi mereka semangat, pujian, perasaan senang dan bahagia dengan lingkungan yang bagus. terbukti lingkungan tersebut lebih mendorong seseorang buat maju. rasanya sistem seperti ini tidak pernah ada di negara2 maju. dan toh mereka tetap lebih maju daripada kita.

      Encouragement and praise benefits both the giver who feels more positive and the receiver who feels more able to succeed.

      rasanya sistem kaderisasi ini sudah terlalu tua dan kaku dilihat dari perkembangan zaman sekarang. its just stupid yang bilang sistem kaderisasi ini yang bisa menghasilkan mahasiswa2 itu nantinya jadi menteri, jadi presiden. aku tidak melihat adanya korelasi antar kedua itu. 🙂

    • C said:

      Wah mas Ryan, menurut saya kalau ga memakai kaderisasi yang keras (bahkan sampai fisik), belum tentu anaknya jadi lemah sampe nangis kalo ketemu tukang gorengan hehehe.

      Lalu, kalau teman, pelajaran, momentum, memori, dan keberanian, memang kadang kaderisasi yang keras bisa memberikan dampak instan kaya yang mas Ryan udah jelasin di atas, tapi, lagi-lagi, kaderisasi yang keras ga menjamin mas menurut saya. Dan lagi, itu semua bisa saya capai melalui jalan-jalan lain yang bukan kaderisasi yg keras. Ada loh, dampak-dampak negatif, misalnya trauma. Bukannya jadi berani karena pernah ditampar, tapi si anak jadi gamau dan takut untuk bertindak atau mengeluarkan pendapat karena takut ditampar lagi – yang rasanya tentu sakit. Bisa juga, toh? Itulah mengapa mas, kalau saya analisis cost-benefit-nya, saya sendiri menganggap yang keras-keras kegedean cost-nya dibanding yang saya paparkan di post saya.

      Untuk masalah ga dateng forum opclos, jujur saya memang ga dateng, dan mungkin itu bisa jadi refleksi diri saya untuk berikut2nya. Walau begitu saya tetap coba update info-info melalui teman-teman saya, baik dalam panitia maupun dr info di him. Memang tidak selengkap kalau saya ikut forumnya juga sih, dan baiknya saya jg ikut forum-nya. Untuk itu, saya minta maaf.

      Nah, kalau saya, untuk poin 1 dan 4 mungkin kita bisa mencari solusinya bersama mungkin, mas. Kondisinya menurut saya banyak orang yang kaya saya, forum ga dateng, tapi mereka ikut-ikutan meneriaki yang kadang lebih dr batas yg ditentukan di briefing. Lebih kepada kesadaran sendiri, sih, tapi apakah ada langkah preventif utk mengurangi org2 seperti ini?
      Maka dari itu, sejauh ini yang saya kepikiran ya itu mas, dikurangi sekalian aja kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi menghasilkan org2 ky gini.

      Gitu mas Ryan menurut saya.. Lagi-lagi saya tekankan opini boleh beda-beda, toh? Menurut mas gitu menurut saya gini. Sekarang tinggal ditemuin aja titik tengah yang paling sesuai utk kedua pihak.

      Tetap semangat mas Ryan!

      • DN said:

        Good point Mbak’e,
        dulu pada kepanitiaan-kepanitiaan sebelumnya, sempat pernah juga mewacanakan langkah-langkah “preventif” seperti yang mbak bilang,
        Tapi apa hasilnya? Kandas oleh “tekanan” massa yang menurut saya lebih mengedepankan keinginan/kepentingan pribadi/golongannya (tentunya secara implisit) dibanding nilai luhur yang mau diberikan (plislah, people are not so noble after all). Tekanan ini ada bermacam-macam, yang paling mengusik sih (seingat saya) adalah yang memperdebatkan masalah seperti: 1) demokrasi dalam pengambilan keputusan, 2) SDM pengkader (please, we were very lacking of this. Yang mau mengkader aja sulit, apalagi yang mau mengkader dengan benar), 3) OSKM milik siapa.

        Di luar itu, secara umum sejujurnya memang kami kekurangan data atau referensi untuk benchmarking untuk menemukan atau merumuskan metode yang sekiranya tidak se-“kontroversial” yang sekarang. Dan memang benar, akhirnya kami kembali patron yang ada, patron yang memang jadul, berisiko tinggi terjadi bullying, dan terakhir kali memang menjadi perdebatan luar biasa dengan kalangan dosen/rektorat.

        Selain itu, untuk konteks OSKM, kami (saya dan panitia lainnya) juga mungkin terlalu naif karena dulu tidak mempertimbangkan faktor-faktor seperti “politik dalam kampus” atau semacamnya, jadi kami kurang mempersiapkan diri dan akhirnya kalah argumen/terpojok untuk memenuhi keinginan mayoritas. Lagipula, toh OSKM ini memang ditekankan untuk dapat meningkatkan partisipasi massa kampus, mau tidak mau keinginan mereka harus kami fasilitasi juga akhirnya.

        Pendapat Mbak bagus kok, dapat memberikan pandangan baru kepada kami. Seandainya nih ya, orang-orang seperti Mbak ini kalau bisa dikumpulkan dan diajak untuk ikut berdiskusi (physically) di forum-forum terkait (misal: forum pembahasan opclose ini). Kehadiran dan suara Anda tentunya akan dapat memberikan dorongan lebih terhadap perubahan yang diinginkan. Bayangkan saja kalau misalnya di forum tsb lagi-lagi hanya diisi oleh oknum-oknum dengan patron lama yang akhirnya menekankan atau mengesahkan metode jadul yang diperbincangkan ini, tanpa adanya orang-orang seperti Mbak yang dapat memberikan perspektif berbeda dan ide-ide yang lebih segar lainnya. Yaa lagi-lagi hasilnya ngono-ngono wae, hehehe.

        Kurang lebih segitu dulu pendapat saya. Saya pribadi akui kalau metode-metode seperti ini terjadi lagi karena kami kekurangan persiapan, ide atau referensi untuk melakukan perubahan yang dimaksud, juga karena kurang persiapan untuk mengantisipasi kondisi sosial-politik di kampus saat itu. Terlalu naif mungkin.

        nb: saya pernah menjadi panitia OSKM selama 3 tahun berturut-turut sebelum ini,

    • Astra (13310078) said:

      Anda benar sekali bung, cara seperti ini membentuk mental. Mental dijajah yang lebih kuat. Mental menindas dan memandang rendah yang lebih muda.

      Kalau saya boleh membalas argumen anda, per poin…
      “1. Teman, ketika lo ditampar sama siapa kek pasti orang-orang disekitar langsung take action dan (sok-sok) peduli gitu, eh dapet temen deh.”
      —> kaderisasi adalah sebuah sarana dalam pembentukan sumber daya manusia menjadi kader dengan nilai-nilai. Bukan hanya untuk mendapat teman.

      “2. Pelajaran, ga akan lo ditampar kalo lo ga ngelakuin kesalahan, sumpah, mahasiswa ga setolol itu kok, ga akan lo hamil kalo ga begituan dulu. Nah dari tamparan ini gua bisa introspeksi diri.”
      —> kalo mahasiswa ga setolol itu, kenapa banyak senior yang menganggap juniornya tolol? mereka mahasiswa loh

      “3. Memori, “Dulu pas gua diospek, gua ditampar bolak-balik 2300 kali”, wah seru ya kalo 30 tahun lagi kalian cerita kayak gitu ke anak cucu.”
      —> saya pernah membaca hal yang menarik, begini isinya: kaderisasi memang enak untuk diperbincangkan kembali, namun apakah mau jika kalian disuruh mengikut proses itu lagi? 95% menjawab tidak. Dan kalau saya diceritakan seperti itu oleh ayah saya, saya tak akan kagum. Saya akan berkata “ngapain ayah ditampar 2300 kali? ga ngelawan?” beda saat ayah saya bercerita (cerita ayah saya asli): “Ayah dulu walaupun badannya kecil, ga ada yang berani sama ayah, soalnya ayah berprinsip. Kalau ada yang bertentangan dengan prinsip ayah dan ayah dipaksa ngelakuin, ayah bakal ngelawan. Bahkan pernah waktu itu ayah omelin rektor” Lebih inspiring mana?

      “4. Momentum, “wah itu tadi aku RT @sicantikjelita: Ih kasian tadi ada yang ditampar, padahal ganteng” dari yang awalnya sedih karena ditampar bisa berakhir dengan perjodohan loh”
      —> sekali lagi, itu bukan tujuan kaderisasi, kembali ke poin 1. Lagipula dapet jodoh bisa darimana aja, gausah ditampar dulu.

      “5. Keberanian, nah ini analoginya kayak kalo misalkan lo takut banget sama setan soalnya lo belom pernah ngeliat setan, yang lo tau setan itu serem, nah ternyata setelah lo ngeliat setan itu setan ga seserem yg lo bayangkan, yaudah kalo gitu gausah takut setan deh. Sama kayak ditampar.”
      —> Kalau orang stpdn berkata seperti ini juga, ga salah dong mereka nonjokin junior?

      Dan untuk yang ini?

      “Situ mau punya anak yang ketika disuruh beli gorengan aja nangis soalnya takut sama tukangnya soalnya mentalnya lemah?
      Situ mau punya anak manja, baru jam 9 malam aja karena takut sama preman eh minta dijemput?
      Situ mau punya anak yang 4 tahun kuliah waktu kosongnya cuma abis buat DoTA?
      Situ mau punya anak yang pas ulangtahun ke-18 nya ga ada yg ngucapin selamat ulang tahun, soalnya anak situ gapunya temen karena anak situ gapunya keberanian dan MOMENTUM untuk mengenal satu sama lain.
      Situ mau nanti ketika tua dan lagi dongeng ke anak cucu situ gapunya memori yang kuat akan kegiatan kampus, memori yang situ ingat cuma soal belajar, proyek, syalala?
      Situ mau hidup dalam kesedihan, sendiri pula.”

      argumen anda lemah, bahkan adik saya yang masih SMP dan belum melalui proses seperti ini ga pernah nangis karena seorang tukang
      Kedewasaan dan keberanian bakal tumbuh sendiri, kehidupan bakal mencicipkan anda asam garam tanpa harus dipaksakan. Dan kehidupan otomatis memberi teman, tanpa harus dipaksakan dengan penindasan bersama.
      Dan mahasiswa Indonesia sering sekali mengartikan ‘belajar, proyek, ngelab, dll’ itu sebagai suatu bentuk keapatisan, INI yang membuat mahasiswa ITB sekarang tidak punya mimpi untuk menciptakan robot, pesawat, atau bahkan pesawat luar angkasa, seperti layaknya mahasiswa ITB yang terdahulu.
      Yang dipentingkan hanya bagaimana orang memandang mereka, keren, tidak apatis, banyak link agar kerja lebih mudah. Sekarang PIKIR KEMBALI, mana yang esensial, dan mana yang tidak esensial

    • Andri Haryono said:

      Seriusan ini Mas Ryan anak ITB? sett dah argumen macam apa ini? Mungkin satu bulan atau satu tahun lagi kalo Mas Ryan baca ini, Mas bakalan malu sama tulisan mas ini, kalau saat itu Mas Ryan sudah lebih terbuka pikirannya. kalo belum ya..sudahlah…
      Saya anak 2006 dan jaman kami ga ada INKM lho (dilarang sama Rektor), tapi 6 tahun setelah Saya lulus, yang Mas bilang ga terjadi tuh sampai saat ini.
      Dengan gaya tulisan Mas Ryan yg -maaf- menurut saya sangat tendensius dan angkuh, boleh Saya tanya, Mas Ryan setelah selesai OSKM sehebat apa? sudah bisa bayar kuliah sendiri?(no beasiswa no minta mama). bener2 hasil kerja keras sendiri. Kalo jawaban Mas Ryan IYA, SAYA BAYAR SENDIRI SEMUANYA, baru kita ngobrol lagi, hehe

      • Situ mau punya anak yang ketika disuruh beli gorengan aja nangis soalnya takut sama tukangnya soalnya mentalnya lemah?
        Situ mau punya anak manja, baru jam 9 malam aja karena takut sama preman eh minta dijemput?
        Situ mau punya anak yang 4 tahun kuliah waktu kosongnya cuma abis buat DoTA?
        Situ mau punya anak yang pas ulangtahun ke-18 nya ga ada yg ngucapin selamat ulang tahun, soalnya anak situ gapunya temen karena anak situ gapunya keberanian dan MOMENTUM untuk mengenal satu sama lain.
        Situ mau nanti ketika tua dan lagi dongeng ke anak cucu situ gapunya memori yang kuat akan kegiatan kampus, memori yang situ ingat cuma soal belajar, proyek, syalala?
        Situ mau hidup dalam kesedihan, sendiri pula.

        Seriously? IMO, kamu merendahkan manusia. Seolah, kalau seorang manusia tidak diperlakukan dengan marah-marah, outcome yang dihasilkan seperti ini.

        Apa marah-marah itu satu-satunya cara membentuk pribadi manusia?

  7. Fikrah said:

    “Kalau (banyak yang) tahu tradisi lama ini kurang benar, kenapa harus dilanjutkan?”
    Karena sistem yang berlaku mengaruskan anda hadir secara fisik untuk memperbaikinya.
    Tidak ada individu yang lebih berwenang daripada individu lainnya di sini.

  8. saya said:

    mbak, kayanya harus nyoba ikut kajian tentang kaderisasi deh. lumayaan looh. emang kalo diliat dijamannya k-pop merajalela, kaderisasi model ginian dianggap copas jaman dulu. tapi lihatlah para kader nya. jadi menteri mbak sekarang

    • C said:

      Mas/mbak (maaf euy gatau…), saya dulu pernah kok ikut kajian kaderisasi hehe. Di himpunan saya juga hampir selalu ikut kalau ada kajiannya, soalnya saya juga panitianya..
      Kalau menurut pandangan saya, mungkin bisa dipikirkan kembali, apakah cara yang dipakai jaman dulu itu masih tepat jika dipakai sekarang. Memang, yang jd menteri skrg melalui kaderisasi yang gayanya begitu, tapi itu sesuai dengan kondisi jaman dulu yang lebih “keras”, kalau menurut saya. Semisal ada cara yang lebih pantas untuk jaman skrg, kenapa tidak coba dibahas? Gitu menurut saya…

      • Astra (13310078) said:

        Mas/mbak, sebenernya jadi menteri atau enggak tuh bukan cuma masalah mereka dikader gimana loh. Terlepas dari bagaimana mereka memimpin, yang jadi menteri itu orang-orang yang emang ahli di bidangnya, yang sudah mendapatkan gelar magister bahkan doktor di perguruan-perguruan tinggi Internasional.

        Jadi kesimpulannya, belum tentu karena mereka dikader dengan cara seperti itu mereka sukses sampai jadi menteri, Faktor-faktor lain banyak yang jauh lebih mendukung seperti yang saya sebutkan diatas 🙂

  9. Agus said:

    Hmm, kata ane sih mental orang katulistiwa yang biasa dapet segala sesuatu gampang, kalo tidak dikerasi akan jadi manja. Orang dengan budaya 4 musim memang tidak cocok seperti ini, tapi ada dosen PTI ane yang ngomong kalo kami itu kayak KERBAU, mesti dipecut dulu baru mau gerak.
    Pengalaman waktu jadi panitia osjur, ketika hari pertama diperlakukan dengan baik: tidak ada danlap, tidak ada pengondisian, flow sangat menyenangkan; dan hari kedua ketika mulai dilakukan evaluasi tim komisi disiplin dengan flow agak tinggi mereka tidak respek lagi. Memang jadi masalah kalau tujuan osjurnya yaitu keberterimaan materi tidak tersampaikan. Flow yang agak tinggi itu sebenernya buat ngelatih anak2 karena di prodi akan banyak diskusi pra-praktikum dengan dosen yang flownya jauuuuh lebih tinggi dari osjur.

    • C said:

      Wah kalau menurut pengalaman saya pas itu ngosjur, pas flownya tinggi malah mereka jadi cenderung “rebellious” dan yang seperti mas Agus bilang, materinya tidak tersampaikan. Pas flownya rendah, seperti yg telah saya bahas di atas, mereka justru lebih respek.
      Mungkin caranya juga beda kali ya, sesuai dengan yang dikader. Mungkin cara yang lebih tepat dipakai untuk kader jurusan saya sama kader jurusan mas beda, sesuai analisis kondisi masing-masing, hehe.

  10. ikhwanalim said:

    saya pribadi sebenarnya tidak setuju dengan metode teriak-teriak ala panitia lapangan. tapi tidak ada salahnya menerapkan hal tersebut. toh, saya kira esensi-esensi yang diberikan tidak melulu dari teriak-teriak tersebut. karena banyak metode lain yang inspiratif dan menarik, bila diikuti dengan seksama. saya mengatakan ini karena saya sudah mengalaminya di masa SMA saya.

    karena, tujuan besar dari OSKM (dan termasuk OHU) adalah menciptakan semangat bagi mahasiswa baru untuk aktif di kemahasiswaan. baik terpusat, maupun di wilayah himpunan ataupun unit. kemahasiswaan itu sendiri tidak boleh diidentikkan dengan kaderisasi saja. karena ada dimensi-dimensi lain yang termasuk dalam kemahasiswaan : kegiatan lomba, pertukaran mahasiswa, event organizing, entrepreneurship, community development dan masih banyak lainnya.

    justru, karena masih sangat awal dalam kemahasiswaan, maka selayaknya mahasiswa baru mendapat suntikan semangat yang tepat untuk aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. bukan menghabiskan waktu 4 tahun kuliah dengan urusan yang hanya menyenangkan diri sendiri saja.

    NB: latar belakang saya adalah ketua himpunan dan menteri koordinator di kabinet.

  11. Menurut gua emang kaderisasi kayak gitu GOBLOG banget (sori kasar, tapi menurut gua kata ini ga cukup untuk mewakili acara bodoh yang dinamakan kaderisasI).
    Emang kalo diteriak-teriakin dibuli-buli bikin mental kuat ??
    Gua sih cuma merasa kasian sama orang yg berpendapat kayak gitu
    Entah dia dididik di barak tentara atau ga kreatif dalam metode mendidik orang

    Buat yang pro kaderisasi primitif, tolong dong kasih bukti bahwa kaderisasi ala preman bakal bisa menempa mental mahasiswa. Gua sendiri uda ngalamin kaderisasi sampah di ITB dan sekarang sedang menempuh pendidikan lanjut di sebuah universitas di luar negeri. Di luar sana ga ada tuh senior-senior yang mukanya ditekuk pas nyambut mahasiswa baru, yang ada malah senyum mereka lebar banget pas nyambut kita. Ga ada tuh acara baris-berbaris kayak bebek sambil dijaga sama senior yang memasang tampang sok sangar ke barisan sambil melipat tangan ke dada. Kita malah disuruh bermain sambil berinteraksi satu sama lain. Hasilnya adalah, mahasiswa baru menjadi akrab satu sama lain dan kita menjadi sangat respek terhadap senior kita yang uda berlelah-lelah membuat acara untuk kita. Bukan begitu hasil yang diinginkan oleh semua pihak ?

    • Astra (13310078) said:

      Setuju dengan bagaimana harusnya kita menyambut mahasiswa baru. Saya pun selalu berfikir, cara kader seperti ini hanya ada di Indonesia

      Tapi sebenarnya kaderisasi ITB kalau dibilang sampah yaa ga sampe segitunya juga, pasti ada kekurangan dan kelebihan. Sayangnya menurut saya lebih banyak kekurangannya juga.

      Dan untuk solusi dari saya:
      Kalo emang mau diubah secara perlahan, setidaknya kita harus mulai mengurangi kata-kata “flow” dalam kaderisasi. Karena itu jelas adalah skenario, dan kaderisasi bukan masalah menciptakan skenario dan momen. Setidaknya kita bisa memakai konsep yang lebih baik dan lebih berilmu –> konsep reward and punishment.
      ga ada flow, berikan terapi ‘punishment’ secukupnya kalo memang dirasa perlu, dan jangan selalu berfikir yang muda lebih tidak berpengalaman dibanding kita. Itu aja udah cukup memperbaiki banyak masalah di kaderisasi.

      • aul said:

        sebelum lebih jauh, yang harus ditelusuri adalah apa ruh zaman kemahasiswaan jaman sekarang? sebaliknya, justru saya melihat bahwa ospek bagaimanapun melibatkan aspek mental state, psikologis, engga serta merta tekstual mengacu pada materi tok. Justru, materi tersebut harus diturunkan, kalo perlu menjadi bentukan metode yang sangat subtil. Ya, kayak di film inception, kalo perlu diturunkan sampai tataran subjektif peserta. Sakti banget deh kalo bisa ampe tahap ini.

        Selebihnya setuju, tidak ada junior yang bodoh, yang ada seniornya tidak pandai mendidik.

  12. Mantab. Ide festivity dengan konsep arak-arakan wisuda untuk menyambut mahasiswa barunya mantab banget. Kalo digodok dengan apik kayaknya menyenangkan dan tepat tuh.

    Tapi segimana pun nggak enak dan nggak logis dan nggak pentingnya OSKM dan OSJUR saya masih mengenang saat itu sebagai milestone yang indah. Sebab utamanya sih ya karena berbeda dari hidup biasanya.
    Meskipun begitu, sebagai panitia memang kita nggak bisa jadi alasan bahwa “nanti elo akan mengenang ini sebagai hal yang indah” untuk mempertahankan cara yang begitu. Esensi acaranya lah yang harus dikejar.

  13. DN said:

    kalo saya sih cuma mau bilang,
    jangan lupa untuk melihat kondisi sebenarnya di lapangan. Ide-ide sebagus apapun kalau keadaan di lapangannya tidak memungkinkan/mendukung atau kitanya tidak mempersiapkan diri dengan sangat baik untuk menghadapi kondisi di lapangan yang aktual untuk mengeksekusi ide tersebut, yaa akhirnya akan kandas juga, hehe

  14. arbi said:

    Terima Kasih abang-abang/ kakak2 semua.
    Maaf nimbrung.
    Saya Arbi (EP’09), kebetulan banyak terlibat dalam OSKM 2012.
    Saya masih newbie, jadi mohon maaf kalau sok tau.

    Pertama-tama, bagi Abang2/kakak2 yang tidak suka dengan metode (seolah) marah-marah, intimidasi, atau agitasi, atau apapun itu, maka berkomentarlah dengan cara yang sesuai. Kalau marah2 dibalas marah2, ya sama aja dong, cuma pindah lapak aja, satu di dunia nyata satu di dunia maya, hehe…

    FYI OSKM ITB itu acaranya bukan yang jalan2 di tengah kampus dan diteriak2in doang. Kita punya 5 hari. Acara ini punya alur. sama seperti hidup kita. Kadang2 gak enak karena diomelin dosen, atau atasan, atau apapun, kadang2 juga enak karena dipuji, diapresiasi, dan dirangkul. Begitupun OSKM, sekali lagi kami punya alur. Ada masanya Maba diapresiasi dan dirangkul. Ada masanya senior2 tersenyum lebar :D. Ada masanya.

    Selain itu acara OSKM 2012 juga ada sharing santai dan Inspiringnya, mulai dari taplok, mentor (massa kampus), Presiden-presiden KM, Alumni, dll. Ada juga tugas yang (menurut saya cukup bermanfaat sebagai bekal pengetahuan pada maba) dan ada juga ada Art performancenya (spt acara theatrical performance sabtu lalu di sabuga keren banget, trus defile unit hari senin kemarin, belum lagi closing nanti juga ada yang keren2 lagi). Semuannya susah2 dikonsep dan dirangkai jadi satu untuk menyampaikan pesan dan tujuan OSKM. Jadi saya mohon untuk tidak menjudge acara OSKM bila belum mengetahui keseluruhan acaranya.

    Kalaupun Acara Opening kemarin kurang memuaskan, saya bilang juga iya. Dan kami sangat terbuka atas kritikan dan saran. Saya percaya bahwa semua komentar diatas, mau yang enak ataupun yang gak enak punya maksud yang baik. Sama seperti danlap yang punya niat baik, hanya mungkin Ia perlu lebih banyak belajar berorasi, lebih banyak membaca buku, lebih banyak mengkaji masalah bangsa, lebih sering sholat berjamaah di masjid (lho? :D) dan intinya lebih banyak belajar supaya Orasinya lebih bagus dan gk terkesan marah-marah aja. Sama juga seperti massa kampus yang sebenarnya telah di brifing untuk menyampaikan materi saat mobilisasi maba. mungkin brifing dari kami yang kurang jelas atau pengawasan kami di lapangan yang kurang sehingga ada yang lepas kontrol, hehe… tapi saya yakin semua sudah berusaha.

    Mungkin perlu diketahui bahwa OSKM 2012 dapat terlaksana lewat proses yang panjang (kurang lebih 2,5 bulan kepanitiaan), segala konsepnya didiskusikan bersama segenap massa kampus (mungkin yang dulu pernah jadi panitia sudah tahu gimana rasanya dibantai didepan forum, hehe), Kabinet, dan bahkan Rektorat. Sampai akhirnya konsep ini disetujui dan dieksekusi. Namun saya menginsyafi bahwa mungkin ada hal2 yang tidak ideal dalam pelaksanaannya sehingga konsep yang bertujuan mulia itu kurang nampak dan terasa bagi semua.

    Terima Kasih sekali lagi atas saran2nya. Saya sepakat kalau OSKM tidak boleh cuma menjadi tradisi yang sekedar diturunkan. Mohon maaf jika keberjalanan acara ini belum sesuai dengan yang diharapkan.

    Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Tidak berguna kita mencaci Panitia karena acara kemarin. Sudah lewat.
    Kita persiapkan saja untuk OSKM berikutnya.
    Saya akan arsipkan blog beserta komentar2 bapak/kakak/abang dan saya pastikan bisa sampai pada panitia OSKM berikutnya. (itupun kalau masih ada OSKM :D)

    Sekian dan Terima Kasih.

    “…Mengubah hari ini, mungkin sudah terlambat.
    Pertanyaannya, maukah Anda menjadi orang yang mengubah masa depan?
    Maukah?
    Atau Anda hanya mau jadi orang yang ngomel-ngomel saja?”

    “… Karena hanya ada 2 jenis anak muda di dunia.
    Mereka yang menuntut perubahan.
    Dan mereka yang menciptakan perubahan.
    Silakan pilih perjuanganmu!”
    ― Pandji Pragiwaksono, NASIONAL.IS.ME

  15. lukki priantomo r said:

    perasaan dari kemaren ada FORSIL untuk OSKM,kayaknya setiap warga kampus bebas memberikan dan memperjuangkan aspirasinya di forum tersebut. segala teknis di lapangan pun ada TOR, teklap, dsb dst.
    Nah kalo merasa OSKM tahun ini seperti cerminan OSKM yang lalu-lalu dimana tidak efektif dsb dst, kenapa tidak coba dituangkan di FORSIL kemarin-kemarin atau yang nanti-nanti pendapatnya??? Atau lebih lanjut lagi ikut menyusun TOR maupun teklap dsb dengan ikut kepanitiaan (terutama di divisi mamet ataupun opclose) atau membantu korlap/danlap dalam pembuatan teklap???

    terlepas dari itu saya sendiri belum punya pendapat tentang keberjalanan OSKM tahun ini (karena saya tidak ada di kampus dari kemarin 😀 )

Leave a reply to C Cancel reply